Cerita

Ling Xue adalah legenda hidup di daerah perbatasan — nama yang membuat para panglima perang, perampok, dan bandit yang berani menantang aturan hukum di sepanjang daerah perbatasan menjadi takut. Dibesarkan di tengah reruntuhan Kekaisaran Lama, sejak usia dini ia tahu bahwa kekuatan bukan sekadar kebajikan — tetapi sebuah kebutuhan. Sementara yang lain berpegang teguh pada gelar yang memudar dan tradisi yang runtuh, Ling Xue mengukir jalannya dengan pedang dan darah, bangkit melalui kemauan keras dan kecemerlangan di medan perang.

Pelatihannya dimulai dengan para tukang pukul kayu, di bawah pengawasan ketat instruktur militer yang percaya bahwa disiplin lebih penting daripada kejayaan. Namun, Ling Xue lebih dari sekadar disiplin — ia terobsesi. Terobsesi dengan penguasaan medan, kecepatan, dan kejutan. Bakatnya dalam menyergap pasukan yang lebih besar melalui serangan sayap dan manipulasi medan membuatnya mendapat reputasi sebagai hantu taktis. Ia akan menyerang dari balik bayang-bayang, menghancurkan kamp musuh di tengah malam, dan menghilang sebelum fajar.

Tidak seperti banyak jenderal yang lebih menyukai teori daripada tindakan, Ling Xue percaya pada kekuatan improvisasi. Dia tidak menoleransi formasi yang kaku atau perintah yang bergerak lambat. Prajuritnya — yang dikenal sebagai Iron Eagles — dipilih langsung dari para prajurit yang paling berani, gesit, dan setia, yang dilatih untuk menanggapi kekacauan dengan efisiensi yang mematikan. Mereka menjadi terkenal karena serangan gaya gerilya mereka, yang tampaknya muncul entah dari mana dan mundur sebelum serangan balik dapat terbentuk.

Meskipun reputasinya menakutkan, Ling Xue tetap sangat anonim di luar medan perang. Di balik baju besinya, ada seorang wanita yang menghindari politik dan formalitas istana. Hanya sedikit yang tahu tentang hobinya yang tenang, seperti mengoleksi pisau antik atau bereksperimen dengan resep makanan penutup tradisional — sisi dirinya yang terasa hampir asing bagi para prianya, yang hanya melihat prajurit yang tangguh. Namun, dikotomi inilah yang justru membuat Ling Xue begitu menarik. Dia adalah pisau dengan dua sisi — menakutkan dalam pertempuran, dan tak terduga manusiawi dalam kedamaian.

Salah satu momen paling menentukan bagi Ling Xue terjadi selama misi pengawalan diplomatik. Ditugaskan untuk menjaga keponakan muda kaisar selama inspeksi perbatasan, ia mendapati dirinya kalah jumlah dan disergap oleh pasukan bandit yang besar. Para pengawal anak laki-laki itu panik. Namun, Ling Xue, yang tenang dan penuh perhitungan, mengambil inisiatif. Dalam manuver yang mengejutkan, ia memerintahkan serangan balik dari samping dan menangkap komandan musuh dalam hitungan menit. Seluruh pasukan musuh hancur berantakan. Hari itu, ia tidak hanya menyelamatkan pewaris tahta — ia menjadi pahlawan nasional.

Capitol mengangkatnya menjadi jenderal provinsi, tetapi Ling Xue tidak pernah membiarkan kekuasaan mengencerkan nilai-nilainya. Ia menolak parade, medali, dan tanah mewah. Kesetiaannya tetap bersama para prajurit di lapangan dan warga sipil yang hidup dalam ketakutan terus-menerus akan invasi. Di mana pun kekacauan mengancam daerah perbatasan, ia ada di sana — bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pelindung. Panjinya menjadi simbol keselamatan di dunia yang keamanannya langka.

Meskipun banyak yang melihatnya sebagai mesin perang yang ditempa oleh kesulitan, mereka yang benar-benar mengenal Ling Xue memahami bahwa ia berjuang bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk memulihkan martabat dan kekuatan bangsa yang membesarkannya. Di matanya, kemenangan bukanlah mahkota, tetapi perisai — sesuatu yang diperoleh bukan dengan gelar, tetapi dengan nyawa yang ia selamatkan dan perang yang ia akhiri.